
Anggota TNI (Foto: ist)
WAMENA,
SUARAPAPUA.com - “Saya menunggu burung berkicau pagi hari, ternyata
burungpun diam, saya bangun jam 12 siang, jadi saya pikir waktu malam,
ternyata siang hari dan burung tidak berkicau karena semua sudah mati.
Itu salah satu bukti kematian hewan yang saya saksikan di Mbua,” kata,
Yosia Gwijangge, keluarga korban.
Yosia mengatakan, kejadian luar biasa di wilayah Mbua ini
merupkana kejadian yang terjadi sebab akibat. Dimana diawali dengan
kematian hewan liar dan hewan peliharaan, akhirnya kematian anak yang
mencapai puluhan orang terjadi.
Oleh sebab itu, pintah Yosia, awal mula kejadian ini harus ditelusuri hingga penemuan penyakit yang sebenarnya dari hewan kemudian berlanjut ke manusia, supaya terdeteksi dan diketahui apa penyebab kematian sesunguhnya.
“Saya tanya, Pemerintah Kabupaten Nduga selama ini tidak perna ke Mbua, kenapa? Mereka harus ada di tempat dan menyampaikan ke semua orang data kematian anak dan melakukan pengobatan terus, supaya bisa menekan angka kematian,” ungkap Yosia.
Selain itu, ia mengatakan, masyarakat Nduga trauma dengan militer, terutama TNI/Polri sehingga Pangdam XVII Cenderawasih segera tarik pasukan yang berada di Mbua.
“Kami punya masyarakat di Mbua itu takut dengan tentara, sehingga mereka lihat tentara dengan senjata lengkap itu lari ke hutan, jadi kami harap Pangdam tarik pasukannya.,” tutur Yosia.
Sementara itu, Arim Tabuni, Koordinator Solidaritas Korban Jiwa Wilayah Mbua mengatakan, data terakhir kematian anak di wilayah Mbua berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan pihaknya berjumlah 54 orang.
“Data ini merupkan data terakhir di Januari 2016, tetapi kami tidak tahu kemungkinan akan terjadi kematian lagi. Jika terjadi lagi angka 54 ini akan bertambah. Untuk kami solidaritas korban jiwa tetap akan kerja terus hingga KLB ini benar-benar berhenti,” ujar Arim.
Terkait berbedaan data kamatian anak yang disampaikan Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga sebanyak 55, ditepis Arim tabuni. Menurut Arim, data dinas itu bisa dibilang banar, hanya saja mereka menyampaikan di media tanpa bukti investigatif yang jelas.
“Mereka hanya ketemu media langsung bilang data sekian, tetapi mereka tidak sampaikan ke media dengan data investigasi seperti kami buat ini. Ini juga kan terbukti, waktu itu Kadinkes Papua bilang pihaknya belum terima data resmi dari dinas Kabupaten, jadi saya tidak bisa sampaikan,” ungkap Arim menirukan pernyataan Kadinkes Papua, drg.Aloysius Giyai beberapa waktu lalu.
Sebagaimana data kematian anak itu disinggung pula Theo Hesegem, Ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua.
Menurutnya, angka 54 itu berdasarkan data yang diambil solidaritas korban jiwa Mbua, tetapi ada daerah lain yang coba dilakukan investigas oleh solidaritas ini yang dihalangi oleh oknum tertentu, sehingga mereka tidak sempat mendata.
“Mungkin mereka tidak senang, karena akibat dari ketidakhadiran petugas kesehatan di daerah itu, sehingga dampaknya kena adik-adik mahasiswa ini. Jika didata semua kemungkinan bisa melebihi,” pungkas Theo Hesegem.
ELISA SEKENYAP
Sumber :www.suarapapua.com
Oleh sebab itu, pintah Yosia, awal mula kejadian ini harus ditelusuri hingga penemuan penyakit yang sebenarnya dari hewan kemudian berlanjut ke manusia, supaya terdeteksi dan diketahui apa penyebab kematian sesunguhnya.
“Saya tanya, Pemerintah Kabupaten Nduga selama ini tidak perna ke Mbua, kenapa? Mereka harus ada di tempat dan menyampaikan ke semua orang data kematian anak dan melakukan pengobatan terus, supaya bisa menekan angka kematian,” ungkap Yosia.
Selain itu, ia mengatakan, masyarakat Nduga trauma dengan militer, terutama TNI/Polri sehingga Pangdam XVII Cenderawasih segera tarik pasukan yang berada di Mbua.
“Kami punya masyarakat di Mbua itu takut dengan tentara, sehingga mereka lihat tentara dengan senjata lengkap itu lari ke hutan, jadi kami harap Pangdam tarik pasukannya.,” tutur Yosia.
Sementara itu, Arim Tabuni, Koordinator Solidaritas Korban Jiwa Wilayah Mbua mengatakan, data terakhir kematian anak di wilayah Mbua berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan pihaknya berjumlah 54 orang.
“Data ini merupkan data terakhir di Januari 2016, tetapi kami tidak tahu kemungkinan akan terjadi kematian lagi. Jika terjadi lagi angka 54 ini akan bertambah. Untuk kami solidaritas korban jiwa tetap akan kerja terus hingga KLB ini benar-benar berhenti,” ujar Arim.
Terkait berbedaan data kamatian anak yang disampaikan Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga sebanyak 55, ditepis Arim tabuni. Menurut Arim, data dinas itu bisa dibilang banar, hanya saja mereka menyampaikan di media tanpa bukti investigatif yang jelas.
“Mereka hanya ketemu media langsung bilang data sekian, tetapi mereka tidak sampaikan ke media dengan data investigasi seperti kami buat ini. Ini juga kan terbukti, waktu itu Kadinkes Papua bilang pihaknya belum terima data resmi dari dinas Kabupaten, jadi saya tidak bisa sampaikan,” ungkap Arim menirukan pernyataan Kadinkes Papua, drg.Aloysius Giyai beberapa waktu lalu.
Sebagaimana data kematian anak itu disinggung pula Theo Hesegem, Ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua.
Menurutnya, angka 54 itu berdasarkan data yang diambil solidaritas korban jiwa Mbua, tetapi ada daerah lain yang coba dilakukan investigas oleh solidaritas ini yang dihalangi oleh oknum tertentu, sehingga mereka tidak sempat mendata.
“Mungkin mereka tidak senang, karena akibat dari ketidakhadiran petugas kesehatan di daerah itu, sehingga dampaknya kena adik-adik mahasiswa ini. Jika didata semua kemungkinan bisa melebihi,” pungkas Theo Hesegem.
ELISA SEKENYAP
Sumber :www.suarapapua.com