TANAH PAPUA
TPNPB - OPM
POLHUKAM
Mei 2014

Mahasiswa asal Distrik Agimuga
kabupaten Mimika Papua menolak distrik Agimuga dimekarkan jadi kabupaten.
Penolakan ini dilakukan Karena dikeluarkannya surat oleh Presiden Republik
Indonesia tertanggal: Jakarta, 27 Februari 2014 dengan nomor surat: R13/Pres/02/2014
tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan 22 kabupaten/kota. 22
kabupaten/kota itu salah satunya adalah distrik Agimuga termasuk yang disetujui
oleh presiden untuk dimekarkan. Surat tersebut ditujukan kepada DPRI agar RUU
tentang pembentukan kabupaten/kota bisa disidangkan kemudian disahkan yang
sifatnya sangat segera.
Kami melihat kasus perencanaan
pembentukan pemekaran distrik Agimuga menjadi wilayah pemekaran dari Kabupaten induk Mimika
telah menimbulkan
sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat,
toko perempuan,
pejabat pemerintah, kaum intelektual (mahasiswa) Amungme. Mereka hanya memperdebatkan manfaat
ataupun kerugian dan daerah adat yang timbul dari banyaknya
contoh wilayah yang
dimekarkan di Provinsi Papua. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung
sikap masing-masing pihak. Tim pemekaran menyatakan bahwa pemekaran akan
membuka peluang terjadinya bureaucratic
and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh
keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah
sendiri (elit pemerintah, politis dan ekonomi). Hal ini menyebabkan terjadinya
suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi dipandang dari pihak
kontra (Mahasiswa Agimuga) pemekaran distrik Agimuga menjadi kabupaten
dipandang merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan
jabatan dan posisi tanpa memperhatikan dan memperdulikan nasib rakyat.
Kami beralasan bahwa
untuk pemekaran wilayah perlu dilihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek yang
perlu menjadi perhatian adalah jumlah penduduk, sumber daya manusia (SDM), luas
wilayah, kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, sumber daya alam (SDA), dan
aspek lainnya yang bisa mendukung dimekarkannya suatu wilayah menjadi kabupaten.
Dilihat dari aspek-aspek di atas, Agimuga tidak dimungkinkan atau tidak layak
untuk dimekarkan menjadi kabupaten karena jumlah penduduknya sebesar 701, luas
wilayahnya 1772 km2,
kepadatan penduduk 0,4 jiwa/km2 dan jarak antar Ibu kota
distrik ke Ibu kota kabupaten adalah 87,5 km.
Sumber daya manusia
di distrik Agimuga rata-rata lulusan SMP dan sebagian kecil lulusan SMA.
Sedangkan lulusan perguruan tinggi atau sarjana jumlahnya pun sangat sedikit.
Mata pencarian masyarakat setempat
adalah petani dan nelayan dengan rata-rata pendapatan per hari Rp.
5.000,- - Rp. 15.000,-. (lima ribu rupiah – lima belas ribu rupiah). Mahasiswa juga mengatakan bahwa kabupaten
induk Mimika saja tidak mengakomodir putra-putri asli Timika untuk duduk di
pemerintahan dan mengatur daerahnya. Malah sebagian besar pegawai negeri sipil
di lingkup pemerintahan kabupaten Mimika adalah orang non-Papua dan sebagian
lagi saudara-saudara se-Papua yang lain. Sedangkan pribumi Kabupaten Mimika
hanya menjadi penonton di atas tanahnya sendiri. Jika demikian, distrik Agimuga
dimekarkan menjadi kabupaten untuk siapa
kalau kabupaten induk saja sudah seperti ini? Semua kebijakan dalam pembangunan
di kabupaten Mimika saja tidak pernah berpihak kepada pribumi setempat, yaitu
suku Amungme dan Kamoro. Malah pribumi Amungme dan Kamoro dijadikan objek oleh
para elit lokal, provinsi, dan pusat untuk kepentingan pribadi dan kelompok
semata. Lebih parahnya lagi, kabupaten Mimika dijadikan arena perebutan
kekuasaan dengan mengadu domba masyarakat kecil yang tidak tahu dengan
konflik-konflik kepentingan yang dibangun oleh elit-elit lokal, provinsi dan
pusat. Melihat berbagai persoalan di atas, kami Mahasiswa asal Distrik Agimuga
kabupaten Mimika Papua menolak dengan tegas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang
Pembentukan Kabupaten Agimuga disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI).
Tim pemekaran distrik
Agimuga mati-matian
melobi DPR-RI, karena
bila lewat pemerintah, jalannya cukup panjang. Ada kemungkinan tidak lolos di
tingkat Departemen Dalam Negeri atau Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Tapi,
kalau lewat DPR-RI, pasti lolos karena langsung masuk RUU, dan pemerintah dalam
posisi tidak gampang untuk mengatakan tidak. Di samping itu, Bila distrik
Agimuga dimekarkan maka cenderungnya akan memicu terjadinya konflik sosial atau
adu kekuasaan. Fakta ini telah terbukti terjadi di Kabupaten induk Mimika, misalnya kasus konflik antara
kelompok
dan berbagai konflik lainnya di seluruh tanah Papua khususnya dan pada umumnya
di penjuru tanah air. Melihat fenomena tersebut, maka kami Mahasiswa Agimuga
menolak Rencana Pemekaran distrik Agimuga menjadi kabupaten.
Thomas Edison Pigai-Mahasiswa di Univ. Udaya Bandung
Penulis : Benny Mawel on May 28, 2014 at 16:14:56 WP 

Peta Fiji (Ist)
Suva,
28/5 (Jubi)- Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dijadwalkan mengunjungi Republik Fiji pada 18 Juni mendatang.
Kunjungan ini yang pertama bagi SBY, ke Fiji.
“Presiden
Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono akan mengunjungi Fiji yang
pertama,”sebagaimana dikutip Radio New Zealand pada 28 Mey.
Informasi lain menyebutkan, kunjungan ini sekaligus menghadiri Sekretariat Forum Pembangunan Pasific Island di Nadi, Fiji.
“Rencana
ini diumumkan Kemeterian Informasi Fiji lewat website resminya,
kemarin,”tulis akun Facebook Konferensi Gereja-gereja Pasifik atau
Pacific Conferences of Churches.
Gereja-gereja
Pasifik menyatakan tidak merubah keputusan. Gereja-gereja terus pada
pendirian mendukung penuh perjuangan rakyat Papua menentukan nasib
sendiri.
Karena
itu, gereja-gereja Pasifik menghasilkan satu surat kepada Forum
Pembangunan Kepulauan Pacific yang menyerukan penentuan nasib sendiri
rakyat West Papua dari Indonesia.
Gereja-gereja
Pacifik mengatakan Indonesia memasukkan Papua pada tahun 1969 dan sejak
itu militernya telah membantai ribuan orang Papua. “Militer Indonesia
membunuh 450.000 orang Papua,”tulis PCC. (Jubi/Mawel)
![]() |
Ilustrations |
Commentary
from the Pacific Network on Globalisation (PANG)
sumber : Written By Kopakaa Wiyaipai
West Papua, comprised of the provinces (Papua and Papua Barat) is the Indonesian government’s last remaining colony, situated on the western half of the island of New Guinea, adjacent to independent Papua New Guinea. Papuans want what all colonized people want: to be free – to be masters of their own destiny. More specifically, Papuans demand, as a matter of urgency, that West Papua be reinstated on the list of non-self-governing territories in order to hasten their progress towards political self-determination.
Eligibility
to be reinstated on the list of non-self-governing territories
West Papua
satisfies the criteria for being reinstated on the list of non-self-governing
territories set down in United Nations Resolution 1541 (XV). Specifically, West
Papua is geographically separate from Indonesia. Papuans are culturally and
ethnically distinct and they have had a different historical experience from
Indonesians. The former colonial authority, the Netherlands, prior to the
current colonial administration, the Unitary Republic of Indonesia taking
control, established a national parliament – the Nieuw-Guinea Raad – paving the
way for Papuans to progress towards self-rule. Sukarno, a former Indonesian
president tacitly acknowledged West Papua’s sovereignty when he referred to
West Papua as a Dutch ‘Puppet State’ prior to launching a military
invasion.
West Papuans
have a right to self-determination under international law set down in the
Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples
and adopted by the General Assembly in its resolution 1514 (XV), Article 1 of
the International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1 of the
International Covenant on Economic Social and Cultural Rights and more
recently, the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous
Peoples.
The need to
reinstate West Papua on the list of non-self-governing territories is made more
urgent by ongoing gross human rights violations and a failure of governance on
the part of the Unitary Republic of Indonesia.
Human rights
violations and state violence has been documented during recent United Nations
Human Rights Council Universal Periodic Review of the Indonesian Government’s
commitment to civil and political rights and economic, social and cultural
rights in 2012, 2013 and 2014. Civil and political human rights issues raised
include included the freedom of expression, the human rights violations
committed by the security forces, the problem of impunity, the repression of
human rights defenders, and the protection of the rights of indigenous peoples
and minorities.
Economic,
social and cultural rights issues raised include lack of access to health care
and education, the problem of land-grabbing, and the rights of minorities and
indigenous peoples. In addition concern was expressed about the Indonesian
government’s delay in making specific arrangements to allow visits by UN
special procedures and human rights experts. In regards to both civil and
political rights and economic, social and cultural right the United Nations
Committee showed particular concern to the situation in Papua.
Political
scientists Dr Jim Elmslie and Dr Camilla Webb-Gannon characterise Indonesian
rule as presiding over slow-motion genocide. They conclude that there is
evidence to show that the Indonesian state has engaged in intentional genocidal
acts designed to “counter and eliminate Papuan attempts to create an
independent state for their nation or enjoy political freedom on a par with
other Indonesians.”
Taking the
above facts into consideration, in a special report into decolonization in the
Pacific Region adopted by the United Nations Permanent Forum on Indigenous
Issues in their Twelfth session in May 2013, Valmaine Toki stated that
“there are clear grounds for the General Assembly to support [West Papua’s]
reinstatement on the list of Non-Self-Governing Territories."
Toki listed
three compelling reasons. “First, West Papua had satisfied the criteria
set down in resolution 1541 (XV). Second, it had featured initially on the
list. Third, the right of self-determination is articulated in article 3 of the
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples.” In light
of gross human rights situation in West Papua Ms. Toki wrote that “urgency is
recommended.” As a result the International Community has a Responsibility
to Protect West Papuans by granting political self-determination as a remedy
for the Indonesian Government’s failure to govern and adequately protect West
Papuans.
Historical
background
West Papuans
formed their own parliament in 1961 but have never been permitted to govern.
The Indonesian government claims sovereignty over West Papua was transferred
from the Netherlands to the Unitary Republic of Indonesia by the United Nations
as a result of the Act of Free Choice in 1969. That is not true. The Act of
Free Choice was not free, fair or peaceful. Less than 0.01% of the population,
just over 1000 people, participated in the Act of Free Choice and 100% of those
that did were coerced to vote. Two in-depth academic studies – one by Professor
Pieter Drooglever, the other by Dr. John Saltford – conclusively
showed that the Act of Free Choice was fraudulent and backed up by extremely
ruthless violence, including the willingness to bomb entire villages. Until
Papuans have been given the right to decide their own political status, a right
which is theirs under international law, Indonesia cannot claim to be a
democracy. In the intervening five decades the political situation has not
improved.
West
Papuans are determined to be free
Desmond Tutu
once said that “nothing can stop a people determined to be free.”
Papuans have
not given up. Even more remarkably, the overwhelming majority have chosen to
pursue their aspirations for freedom through a combination of unarmed civilian
based resistance and diplomacy. Instead of ensuring West Papuans’ safety and
security the Indonesian state is endangering their lives. West Papuans are
driving the struggle; they are being killed, tortured, imprisoned and pushed to
the margins of political and economic life but they are not backing down.
However, they need their regional neighbours and other governments to stand
with them so they can continue living in the land of their ancestors. Papuans
want their country to be reinstated on the list of non-self-governing
territories and urge member countries of the Committee of 24 to take immediate
action to support Papuan aspirations.
SOURCE: PANG/PACNEWS
Sesources: http://pina.com.fj
Free West Papua Campaign - Perth Australia: Let my people go. Free West Papua: Lyric by Oridek Ap Vocal: Oridek, Slay, and Erisam I'm a songwriter I'm a freedom fighter I'm a rebel Fo...
Seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka telah menyerukan
langkah-langkah untuk memastikan bahwa para pelaku pembunuhan massal di
Indonesia dibawa ke pengadilan , pada pemutaran film dokumenter pemenang BAFTA
The Act of Killing , diadakan di Wolfson College dengan nama Yayasan Hukum ,
keadilan dan Masyarakat . Jennifer Robinson , pengacara Wikileaks dan Direktur
Advokasi Hukum di Bertha Foundation, membuat komentar dengan cara pengenalan
film , yang menyelidiki bagaimana sampai satu juta orang Indonesia yang dibunuh
pada tahun 1960 , di tangan pemerintah yang masih berkuasa.
Mrs Robinson , yang tinggal dan bekerja di Indonesia dan telah mewakili aktivis kemerdekaan Papua Barat dalam dekade terakhir , memuji film ini untuk peran penting dalam menyoroti apa yang telah disebut sebagai genosida terlupakan, tertutup oleh sensor dan kampanye propaganda oleh rezim Suharto di Indonesia . Mengatasi audiens lebih dari 100 orang , ia berpendapat bahwa , " mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan keji harus bertanggung jawab untuk mencegah tindakan seperti ini terjadi di masa depan , sehingga masyarakat yang mengatakan ' tidak pernah lagi ' .
Menggambarkan mekanisme keadilan transisi yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia , ia berpendapat bahwa ini dirancang sebagai sarana untuk melarikan diri penuntutan internasional , dan telah tunggal gagal untuk menangani kejahatan masa lalu , mengutip Pengadilan Hak Asasi Manusia yang telah gagal untuk membawa keyakinan sukses tunggal , dan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi diusulkan yang terjebak sebagai inkonstitusional . Konsekuensi dari kegagalan seperti itu starkly dibawa pulang oleh pernyataan bahwa , "Di mana masyarakat gagal untuk memeriksa dan datang untuk berdamai dengan masa lalu mereka , budaya impunitas mengembangkan dan yang memungkinkan lingkaran melanjutkan kekerasan . Indonesia adalah contoh sempurna dari ini. "
Dimana masyarakat gagal untuk memeriksa dan datang untuk berdamai dengan masa lalu mereka , budaya impunitas mengembangkan dan yang memungkinkan lingkaran melanjutkan kekerasan . Indonesia adalah contoh sempurna dari ini.
Mrs Robinson menyimpulkan dengan menggambarkan kekerasan yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh rezim , baik melalui pencaplokan ilegal dari Papua Barat , dan kejahatan besar terhadap kemanusiaan terjadi di Timor Timur . Dia bergabung dengan pemimpin kemerdekaan Papua Barat dan Nobel Prize calon Benny Wenda , yang vivdly menceritakan pengalamannya sendiri pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim Indonesia , pengasingannya saat ini di Oxford , dan upaya untuk mengamankan penentuan nasib sendiri Papua Barat melalui gratis Kampanye Papua Barat.
Acara ini adalah salah satu dari serangkaian bebas pemutaran film termly yang menjelaskan isu-isu yang berkaitan dengan hukum , keadilan dan masyarakat yang diselenggarakan oleh Yayasan Hukum , Keadilan dan Masyarakat di Wolfson College. Film ini diikuti oleh peristiwa terkait pada tanggal 7 Mei berjudul Representasi Populer Pembangunan , yang dibawa bersama program FLJS dalam pembangunan internasional dan hukum , film, dan sastra untuk menilai kembali luas dan popularitas studi pengembangan melalui analisis sastra , film , dan bentuk non - konvensional lainnya representasi .
Untuk menerima berita masa depan pemutaran tersebut atau acara lainnya yang diselenggarakan oleh Yayasan , silakan berlangganan e -newsletter kami dengan memasukkan email Anda di dalam kotak di bagian kanan atas halaman ini .
sumber : sumber :Info papua
Mrs Robinson , yang tinggal dan bekerja di Indonesia dan telah mewakili aktivis kemerdekaan Papua Barat dalam dekade terakhir , memuji film ini untuk peran penting dalam menyoroti apa yang telah disebut sebagai genosida terlupakan, tertutup oleh sensor dan kampanye propaganda oleh rezim Suharto di Indonesia . Mengatasi audiens lebih dari 100 orang , ia berpendapat bahwa , " mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan keji harus bertanggung jawab untuk mencegah tindakan seperti ini terjadi di masa depan , sehingga masyarakat yang mengatakan ' tidak pernah lagi ' .
Menggambarkan mekanisme keadilan transisi yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia , ia berpendapat bahwa ini dirancang sebagai sarana untuk melarikan diri penuntutan internasional , dan telah tunggal gagal untuk menangani kejahatan masa lalu , mengutip Pengadilan Hak Asasi Manusia yang telah gagal untuk membawa keyakinan sukses tunggal , dan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi diusulkan yang terjebak sebagai inkonstitusional . Konsekuensi dari kegagalan seperti itu starkly dibawa pulang oleh pernyataan bahwa , "Di mana masyarakat gagal untuk memeriksa dan datang untuk berdamai dengan masa lalu mereka , budaya impunitas mengembangkan dan yang memungkinkan lingkaran melanjutkan kekerasan . Indonesia adalah contoh sempurna dari ini. "
Dimana masyarakat gagal untuk memeriksa dan datang untuk berdamai dengan masa lalu mereka , budaya impunitas mengembangkan dan yang memungkinkan lingkaran melanjutkan kekerasan . Indonesia adalah contoh sempurna dari ini.
Mrs Robinson menyimpulkan dengan menggambarkan kekerasan yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh rezim , baik melalui pencaplokan ilegal dari Papua Barat , dan kejahatan besar terhadap kemanusiaan terjadi di Timor Timur . Dia bergabung dengan pemimpin kemerdekaan Papua Barat dan Nobel Prize calon Benny Wenda , yang vivdly menceritakan pengalamannya sendiri pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim Indonesia , pengasingannya saat ini di Oxford , dan upaya untuk mengamankan penentuan nasib sendiri Papua Barat melalui gratis Kampanye Papua Barat.
Acara ini adalah salah satu dari serangkaian bebas pemutaran film termly yang menjelaskan isu-isu yang berkaitan dengan hukum , keadilan dan masyarakat yang diselenggarakan oleh Yayasan Hukum , Keadilan dan Masyarakat di Wolfson College. Film ini diikuti oleh peristiwa terkait pada tanggal 7 Mei berjudul Representasi Populer Pembangunan , yang dibawa bersama program FLJS dalam pembangunan internasional dan hukum , film, dan sastra untuk menilai kembali luas dan popularitas studi pengembangan melalui analisis sastra , film , dan bentuk non - konvensional lainnya representasi .
Untuk menerima berita masa depan pemutaran tersebut atau acara lainnya yang diselenggarakan oleh Yayasan , silakan berlangganan e -newsletter kami dengan memasukkan email Anda di dalam kotak di bagian kanan atas halaman ini .
sumber : sumber :Info papua
Langganan:
Postingan
(
Atom
)